Selasa, 26 Februari 2008

sejarah pantai lovina


SITUS BUDDHA ABAD KE IX


PENGANTAR
Bila anda pernah mendengar desa Kalibukbuk kemungkinan anda mendengar tentang suatu tempat wisata di sebelah Utara pulau Bali yaitu salah satu desa yang sekarang ini sedang sarat dengan pembangunan sarana pariwisata. Kalibukbuk adalah satu dari beberapa desa dalam untaian Kawasan Wisata Lovina.
Desa ini terletak di dekat pantai berbentuk teluk sehingga pemandangan pantainya cukup indah. Lautnya sendiri mengandung bunga karang dan ikan-ikan yang berwarna indah. Bahkan di lepas pantai terdapat kehidupan ikan lumba-lumba. Semua ini merupakan daya tarik utama pariwisata yang dikembangkan masyarakat yang ternyata mampu menarik kunjungan wisatwan manca negara.
SITUS ARKEOLOGI.
Dengan adanya pariwisata akhir-akhir ini yang berkembang secara spontan dan berkesinambungan membuat kita kembali bertanya akan hal-hal yang mendasar. Seperti kata orang bahwa “sejarah berulang kembali” ( history repeats itself) mungkin berlaku di desa Kalibukbuk sekarang ini. Kalau cerita orang tua mengatakan bahwa jaman dulu di teluk Kalibukbuk adalah sebuah pelabuhan maka tentulah desa Kalibukbuk itu sendiri cukup ramai dengan segala macam perdagangan dan perimbasan budaya . Semua itu mungkin sudah saatnya berulang kembali.
Satu bukti nyata adalah dengan adanya temuan arkeologi yang cukup spektakuler dalam bulan September 1994 yaitu sebuah Situs Candi Budha (Stupa) kurang lebih 300 meter dari jalan raya ke arah Selatan. Team yang dibentuk Balai Arkeologi Denpasar melakukan survey dan ekskavasi dalam 6 tahapan sejak Nopember 1994 sampai tahun 2000.
Hasil temuan berupa fitur yaitu satu kompleks candi yang tertimbun 1,5 meter dibawah perukaan tanah. Candi tersebut terdiri dari tiga bangunan. Yang terbesar memiliki fondasi berbentuk octagonal atau segi delapan berada ditengah diapit oleh dua candi perwara yaitu bangunan segi empat sama sisi dengan panjang satu sisi 2,70 meter. Bahan bangunan dari batu bata ukuran 10x20x40 sentimeter.
Bangunan stupa tersebut sebagian besar sudah rusak, masih tersisa hanya bagian dasarnya.
Bangunan tersebut tertimbun banjir lumpur di tahun 1815 atau bahkan mungkin sudah tertimpa bencana alam tahun-tahun sebelumnya.
Selain itu ditemukan artefak berupa stupika, meterai, relief dan pecahan gerabah. Dengan melihat fitur dan artefak tersebut bangunan stupa adalah merupakan bangunan suci tempat pemujaan masyarakat Budha di abad IX.
Temuan tersebut sebagai bukti bahwa desa Kalibukbuk sungguh merupakan tempat persinggahan pelbagai masyarakat dari seberang dengan budayanya masing-masing sejak jaman purba. Bahkan salah satu pelabuhan yang penting untuk Bali, mengingat pantainya yang berbentuk sebuah teluk dan lautnya yang tenang sangat cocok untuk kapal-kapal layar.
Berdasarkan itu daya dukung sebagai tempat wisata budaya dan wisata spiritual di lingkungan tersebut sangatlah kuat. Di sebelah Selatan, tidak jauh dari situs tersebut diatas bukit kecil berdiri Pura Bukit Sari yang oleh masyarakat dianggap sangat bertuah.
KEMUNGKINAN PENGEMBANGAN
Setelah ekskavasi dan hasil temuan semuanya di identifikasi, tentunya pengembangan selanjutnya dilaksanakan dengan membangun sarana-sarana pendukung di tempat itu juga. Hal ini penting bilamana Situs Budha Kalibukbuk ini di arahkan juga sebagai daya tarik wisata. Semoga semua bisa terlaksana dalam waktu tidak terlalu lama. Partisipasi para wisatawan dan pemerhati dari semua pihak sangat di perlukan.
RIWAYAT TEMUAN.
Bermula pada tahun 1994. Dengan maksud menguras sumur tua yang dibuatnya sendiri tiga puluh tahun silam, seorang warga setempat menemukan benda-benda aneh menempel di sekeliling dinding sumur. Di dasar sumur juga didapati pasangan batu bata layaknya sebuah bangunan. Benda-benda tersebut terkubur sekitar satu setengah meter di bawah permukaan tanah.
Setelah dilaporkan ke Dinas Kebudayaan, maka oleh Balai Arkeologi Denpasar segera melakukan survey dan ekskavasi. Seperti yang telah disebutkan terdahulu ekskavasi dilakukan enam tahapan dari bulan Nopember 1994 dan berakhir tahun 2000.
Mahasiswa Jurusan Arkaelogi UNUD Denpasar 2007


Sketsa artist

Sumur tua membuka misteri

Proses eksvakasi Balai Arkeologi Denpasar

DR.A. A. Gde Oka Astawa - Arkeolog bersama
A.A. Ngurah Sentanu - Penemu Situs

Prof Sukmono (almarhum) membelakangi kamera meninjau situs Kalibukbuk bersama Crew Balai Arkeoloog Denpasar
Foto-foto tahun 1994-1995
Mulai bulan Juni 2004 Situs Kalibukbuk mulai di kerjakan oleh Balai Pelestarian Bangunan Bersejarah. Tunngu laporannya segera di situs web ini>>>>>>>>.

Lokasi desa Kalibukbuk.
Desa Kalibukbuk terletak di pinggir pantai yang ombaknya tenang sepanjang tahun, kurang lebih 10 kilometer di sebelah Barat kota Singaraja. Ada dua jalan yang bisa dilalui bila kita hendak mengunjungi desa Kalibukbuk dari arah kota Singaraja.
Kepertama kita bisa melalui jalan baru (marga anyar) ke arah Barat. Setelah menempuh jarak kurang lebih 10 km yang pertama dijumpai adalah desa Kalibukbuk itu. Jalan atau marga anyar ini dibuat dengan cara terencana pada jaman Belanda, konon selesai tahun 1902.
Kedua, untuk sampai ke desa kalibukbuk bisa juga melalui jalan pedesaan atau marga buwuk melalui desa-desa Baktiseraga, Pemaron, Tukadmungga, Anturan dan sampailah di desa Kalibukbuk. Marga buwuk ini sudah ada sejak jaman dahulu.
Pusat desa Kalibukbuk ditandai dengan persimpangan jalan lima-arah atau “simpang lima”. Desa Kalibukbuk yang kita lihat sekarang ini sudah berbeda dengan keadaan pada masa lampau, katakanlah duapuluh tahun yang lalu. Waktu itu penduduknya hidup secara tradisional dari pertanian seperti kelapa (kopra) dengan beternak sapi, kerbau, babi, ayam bebek dan sebagainya. Di samping itu mereka juga ada yang bekerja di sawah. Diantaranya ada yang hidup sebagai nelayan, ada juga sebagai buruh atau tukang bangunan.
Itu dahulu. Tetapi sekarang desa Kalibukbuk adalah desa yang sudah menjadi tempat tujuan wisata yang cukup terkenal di mancanegara. Hal ini dapat kita lihat dengan telah tercantumnya nama desa Kalibukbuk di banyak buku panduan wisata (guide book) di dalam dan di luar negeri. Bahkan di internet sudah banyak disebutkan desa Kalibukbuk ini.
Mungkin masih ada di antara kita yang belum mengetahui bagaimana proses transformasi ini berlangsung dan keterlibatan masyarakatnya, dari masyarakat tani ke arah pariwisata. Dimulainya dengan suatu rintisan atau terobosan yang dilakukan oleh warga desa sebagai yang diuraikan di halaman lain situs ini, maka setelah itu kepariwisataan berkembang bersama-sama dengan lima desa tetangganya membentuk satu kawasan wisata. Pembangunn sarana pariwisata sekarang ini masih terus berlangsung seperti tidak mengenal kata mengaso.(Langsung ke halaman
Pariwisata Kalibukbuk).
Apa yang dipaparkan diatas adalah suatu kenyataan yang kita bisa lihat secara “sekala”. Dari seorang pengamat mungkin mengatakan, memang “sejarah selalu mengulangi dirinya” (history repeats itself). Namun di antara masyarakat sendiri terutama yang memandangnya dari sudut religius sering menghubungkan keadaan ini dengan pengaruh “niskala”. Bahwa ada sebab di balik akibat. Bahwa ada energi spiritual yang berpotensi. Bahwa ada yang menyebut desa Kalibukbuk “ketakson’, ke-elingin oleh para leluhur. Sudah merupakan pituduh sang meduwe jagat.
Nama desa Kalibukbuk
Orang-orang tua dulu menyebut desa ini dengan nama Tanah Gesar. Tetapi sekarang nama Tanah Gesar jarang terdengar kecuali kalau disebut oleh kalangan orang-orang tua. Yang lebih sering dipakai adalah nama Kalibukbuk. Ada sementara orang yang mengkaitkan nama Kalibukbuk dengan Kalingga, sebuah nama kota di India.
Namun perlu disebutkan juga disini adanya ceritra rakyat atau legenda yang menceritakan bahwa jaman dahulu Kerajaan Tanah Gesar (Kalibukbuk) dikalahkan oleh sejenis ikan laut yang disebut ikan bano yang berparuh lancip seperti anak panah. Banyak anggota masyarakat yang terbunuh dipantai yang membuat rakyat resah dan menjauhi pesisir pantai. Lalu Raja waktu itu berupaya menolong rakyatnya dengan mengadakan sayembara. Datanglah seorang pemuda yang menyatakan kesanggupannya untuk mengalahkan ikan bano tersebut dengan imbalan minta sebagian wilayah Tanah Gesar. Raja pun setuju. Memang benar pemuda itu bisa mengalahkan ikan-ikan bano tersebut. Tetapi Raja malahan berbalik pikiran, pemuda itu dibunuh. Tidak lama kemudian datang semut ribuan banyaknya menyerang Raja dan rakyatnya. Akhirnya semua penduduk meninggalkan tempat itu dan membuat Tanah Gesar tinggal dalam kesunyian. Itu hanyalah ceritra rakyat biasa yang bersifat dongeng. Ataukah cerita yang memiliki kandungan kesejarahan yang cukup bernilai untuk dikaji?
Latar belakang sejarah.
Rupanya memang benar desa Tanah Gesar atau Kalibukbuk ini mengandung misteri. Mungkin sebahagian kulitnya sudah bisa terungkap, namun masih banyak yang masih perlu ditelusuri selanjutnya.
Yang sangat mentakjubkan dan juga cukup mengemparkan adalah temuan situs arkeologi pada tahun 1994. Bangunan peninggalan sejarah tersebut berupa Candi Budha diperkirakan peninggalan abad ke 11. Candi tersebut tertimbun sekitar dua meter di bawah permukaan tanah, ditemukan di tengah-tengah tegalan milik warga di wilayah desa Kalibukbuk berdekatan dengan Pura Bukit Sari. Setelah diadakan survey lalu dilakukan ekskavasi oleh Balai Arkeologi selama enam tahun yaitu sampai tahun 2000. Sekarang situs tersebut berada dalam penanganan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Perlu dicatat tidak jauh dari tempat itu, pernah juga ditemukan peninggalan berupa kerangka manusia dari jaman lampau tertanam di dekat pantai. (Langsung ke halaman
Situs Kalibukbuk)
Dengan temuan sejarah tersebut maka sedikitnya terungkap bahwa Kalibukbuk cukup kaya akan kandungan sejarah. Semua itu menunjukkan bahwa sudah sejak jaman pra sejarah wilayah Kalibukbuk ini sudah dikenal. Rupanya juga, jaman itu pantainya merupakan pelabuhan laut yang menghubungkan daratan pulau Bali dengan dunia luar. Bila memang demikian maka sudah sejak jaman dahulu desa Kalibukbuk dikunjungi oleh orang-orang dari seberang lautan dengan pengaruh bermacam budaya silih berganti.
Setelah itu wilayah Kalibukbuk seperti tak bertuan. Tanah di pesisir pantai Kalibukbuk ini banyak di kuasai oleh pendatang, seperti suku Bugis dan orang Melayu. Kemudian bangsa Eropa seperti Inggris dan Belanda mulai mengincar pulau Bali untuk mencari tanah jajahan sehingga mengakibatkan makin runyamnya situasi. Pergolakan mulai terjadi di Bali Utara, dimana raja Buleleng beserta rakyat menentang kedatangan kaum penjajah. Rakyat Buleleng pun terus bertempur melawan tentara kolonial Belanda yang memuncak dengan perang Jagaraga tahun 1846-1849. Sedangkan pada waktu berkecamuknya perang Banjar tahun 1868 desa Kalibukbuk seperti ditinggal sebagian besar penghuninya.
Desa Kalibukbuk dan Pariwisata.
Bila kita cermati perkembangan pembangunan di desa Kalibukbuk, khususnya pembangunan sarana kepariwisataan dalam kurun waktu duapuluh tahun terakhir ini, kita lihat cukup pesat. Pada permulaannya proses yang terjadi hanya biasa saja. Seperti bergulir sedemikian rupa secara alami, yaitu timbul dari kreasi spontan masyarakatnya sendiri. Keadaan ini terlihat setelah dirintisnya sarana pariwisata oleh Anak Agung Panji Tisna pada tahun 1953 dengan membuat losmen dan restoran dengan nama Lovina di pantai Kampung Baru desa Tukad Cebol. Nama desa tersebut sekarang diganti menjadi desa Kaliasem. Lokasinya hanya berbatasan sungai kecil sebelah Barat desa Kalibukbuk.
Hotel Lovina Beach>>
Banyak kalangan pada waktu itu meras skeptis dan memandang usaha ke arah pariwisata masih sangat dini untuk dikembangkan di wilayah tersebut, apalagi sangat jauh dari Denpasar.
Sedangkan di desa Kalibukbuk sendiri usaha pariwisata disambut dan dirintis kembangkan oleh A A Ketut Gothama pada tahun 1975 dengan cara memanfaatkan sebagian bangunan yang ada di Puri milik keluarga sebagai penginapan dengan nama Ayodia Accommodation. Nama Ayodia Accommodation pernah mencuat diorbitkan oleh beberapa penulis buku guide antara lain Tony Wheeler yang sangat menyanjung dengan sebutan "the best small hotel in the world" bersama Bill Dalton dengan menyinggung juga desa Kalibukbuk sebagai tujuan wisata. Mulai tahun 1979 sangat dirasakan "banjir"-nya turis ke desa Kalibukbuk dan sekitarnya.
Bersamaan dengan waktu itu, Bapak I Made Wita selaku Kelian Adat dan sekaligus menjabat sebagai Perbekel Kalibukbuk pada tahun 1982 membuat terobosan yang sangat mendukung perkembangan pariwisata, yaitu dengan membangun prasarana jalan ke pantai dan membuka areal tempat hiburan yang sekarang dikenal dengan nama Pantai Bina Ria. Di antara anggota masyarakat ada yang menyumbangkan sebagian tanahnya untuk sarana jalan ke pantai. Sejak itu pantai Binaria Kalibukbuk setiap tahun menjadi pusat keramaian terutama pada Hari Raya Nyepi. Setelah dibangun gedung hiburan, sering diadakan pertunjukan kesenian seperti tari2an, drama gong dan sebagainya. Termasuk perbaikan jalan ke pantai yang berada di banjar Banyualit dilaksanakan juga perbaikan.
Rupanya rintisan-rintisan tersebut adalah merupakan batu loncatan yang sangat menentukan penataan sebagai kawasan wisata. Dilaksanakan dengan cara-cara yang tepat saat itu sehingga mampu menyedot minat wisatawan manca negara untuk datang ke Bali Utara khususnya ke desa Kalibukbuk, Kaliasem dan wilayah desa sekitarnya. Kemudian pembangunan sarana pariwisata seperti hotel, restoran dan sebagainya berlanjut dan bahkan bersambung ke desa-desa tetangganya. Di sebelah Timur desa Anturan, desa Tukadmungga dan desa Pemaron. Sedangkan ke Barat, desa Kaliasem dan Desa Temukus. Kenyataan itu oleh pemerintah akhirnya diakui dan telah secara resmi disebut Kawasan Wisata Kalibukbuk. Tetapi rupanya nama Lovina kadung sudah terlanjur populer maka masyarakat pariwisata lebih senang memakai nama Kawasan Wisata Lovina.

2 komentar:

Komang Putrawan , Amd.Kom mengatakan...

ngiring sareng sami ngelestariang Lovina ne..

suksema..

http://www.deraibali.com
web programming dari tukadmungga - lovina

pesona alam indonesia di khatulistiwa mengatakan...

trims, artikel nya menarik , menambah pengetahuan..like this :))